#BC65: Untuk Guruku, Terima Kasih!

Tulisan ini tercipta untuk memenuhi tantangan dari teman saya, Hera dengan topik, “Ceritakan tentang gurumu yang paling berkesan. 

Oia sebelumnya aku bersyukur banget bisa bener-bener concern menyelesaikan tantangan tulisan kali ini. Ngebutt cyinn, tapi gapapa kalau ga gini belum tentu ngisi blog lagi huhu. Padat kegiatan diluar sampai pulang ke rumah udah ga banyak basa basi tinggal tepar aja bawaan. eh kok curhat wkwkwkk

Okay readers, langsung saja nih ke sebuah kisah yang juga menjadi catatan apresiasiku untuk guruku.

Medan, 2008.

Waktu itu masih duduk di bangku 3 SMP. Suasana kelas baru pun terasa sama tapi tidak untuk teman-temannya. Aku bertemu dengan teman baru hingga kemudian bersahabat sampai sekarang. Ya, kelas 3 SMP memang penuh kenangan. Tapi kali ini lebih dari sekadar kenangan karena ilmu yang tercurah adalah bagian dari kesuksesanku sekarang. Allah mempertemukanku dengan seorang guru yang juga menjadi wali kelasku saat itu benar-benar membuatku tersadar akan satu hal: takdir. Ketika ujian semester 1 berlangsung, bisa dikatakan kelasku dihuni oleh teman-teman yang cerdas, mereka juga salah satu teman dekatku di sekolah hingga sekarang menjadi teman ter-awet sepanjang pertemanan. Mereka tergolong cerdas karena nilai mereka tinggi hampir di setiap pelajaran. Dibandingkan aku yang saat itu sangat lemah di bidang IPA, menghafal pun malas ketika pelajaran IPS, namun entah kenapa atmosfer untuk belajar saat itu bagiku begitu kuat hingga nilai matematikaku pun tembus 80. Suatu prestasi menurutku tapi biasa aja bagi temanku yang terpintar saat itu. Nilai IPA ku pun melejit bak roket milik Amerika, fikirku, karena sebelumnya nilaiku tak pernah tembus dari angka 90. Tapi saat itu aku belajar memahami kalau takdir itu bisa berubah. Selain karena faktor guru, ketidaksukaanku dengan pelajaran ini juga memengaruhi. Meski begitu, rangkingku selama di SMP gapernah keluar dari 10 besar. Tapi dari pak Sule, nama panjangnya bapak Sulaiman, S.Pd, guru geografi yang begitu semangat memotivasi anak didiknya. Aku benar-benar terinspirasi dari caranya mengajar dan memberiku nasihat. Pernah sewaktu-waktu aku nyeletuk di depannya ketika mengumpulkan LKS,

“Pak, gimana caranya biar bisa pinter Matematika? saya dah belajar tiap malam tapi kaya nya ga cocok sama saya. Membal gitu pak, kaya pake mantra,” kataku dengan kesal saat itu.

“Ah ada-ada aja kamu Nak. Mana ada mantra-mantraan. Berarti cara belajarnya yang perlu diperbaiki. Coba sini bapak kasih satu contoh soal matematika,” katanya.

Ya saat itu dia memberikan secarik kertas dan memberikan contoh soal sederhana tentang aljabar kalau ga salah inget. Mumet, mau permisi ke toilet aja rasanya gitu liat soalnya.

“Sini Dwita, kerjain coba.” panggilnya.

Aku pun gamau kalah, kuambil tutup stip-x trus ngelempar ke arah temenku minta tolong ngasitau jawabannya. Temenku menoleh, tapi ga ke depan karena ganiat sama sekali bantuin haha. Akhirnya yaudah duduk manis melongo sambil pura-pura nyari jawaban padahal gatau gimana nyelesaikannya. Karena udah ngeliat aku bertingkah gajelas, akhirnya pak Sule pun nyengir lalu nasihatin, “Sebenarnya itu jawabannya mudah. Kamu aja yang buat susah. Jawabannya itu tak hingga. Kadang soal matematika sama dengan hidup. Tetap punya alasan dan bukti tapi tetap manusia gabisa benar-benar mengkajinya, karena ilmu manusia itu terbatas. Itulah kehendak Allah. Jadi seberapa keras pun kamu usaha, tetap kamu gabisa mengkaji apa yang benar benar pasti karena kita bukan Tuhan. Bahkan untuk ilmu pasti seperti matematika saja bisa ada simbol tak hingga, ya kan? itu artinya tak terhitung saking banyaknya. Ada lagi nanti istilah di matematika tak terdefinisi. jadi bukan berarti kita gabisa di satu bidang lantas kita langsung berfikir kita bener-bener gabisa. Yang penting usaha. Karena kalau udah Allah berkehendak, semua bisa terjadi.”

Selang beberapa waktu setelah itu, aku mengikuti ujian semester dan belajar semampuku. Tak kupaksakan aku harus bener-bener bisa karena teringat kata-kata pak Sule usaha manusia juga ada batasnya. Hanya bisa pasrah saat itu dan pembagian rapot eh dapet rangking 1 ngalahin temen yang udah terpercaya 3 tahun bertahan di peringkat satu. Melongo tapi bersyukur juga pengalaman berharga saat itu. Sempet bertanya juga ketika pembagian rapot waktu itu, “Pak kok bisa saya rangking 1?” tanyaku.

“Kamu aja ga percaya apalagi saya. Nilai kamu bagus disini. Saya hanya mengumpulkan nilai dari guru-guru bidang studi dan tidak ada laporan negatif selama ujian di kelas kita. Ini namanya takdir. Kamu udah belajar dan Allah kasih hadiahnya. Masih ingat kan percakapan kita kemarin, Kehendak Allah kamu bisa begini.” katanya sambil tersenyum.

Sesaat aku terdiam. Sepanjang jalan kulihat lama-lama nilai rapotku. Iya, ini takdir, Dwita. Takdir yang terwujud dari usaha dan kepasrahan setelahnya. Tidak ada kedengkian sebelumnya dengan temanku, malah saat itu aku senang-senang aja dia unggul karena aku tahu dia layak. Tapi ketika ini terjadi kepadaku terasa beda. Mereka sempat bertanya-tanya  meragukan tapi akhirnya bisa berlapang dada karena mereka juga menganggapku teman dekat. Dan aku? hanya bisa meresapi perkataan pak Sule sampai sekarang. Poin berharga yang kupedomi sampai detik ini adalah seberapa keras pun usahaku, aku tak pernah benar-benar bisa memahami kehendak Allah yang sesungguhnya. Jalan satu-satunya adalah tetap semangat usaha dan ikhlaslah dalam berdoa. Karena aku tidak tahu, usahaku yang keberapa akan mengubah takdirku.

Untuk bapak, terima kasih banyak. Pemberianmu lebih dari sekadar Ilmu 🙂

Tantangan ke-65, done ^-^

 

 

2 Comments

Tinggalkan komentar